Putrakepri.com, Tanjungpinang – Aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah hal biasa kita dengar, tetapi sudah menjadi hal yang biasa di kalangan masyarakat yang memiliki masalah dalam rumah tangganya, kekerasan dalam rumah tangga bukanlah solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah tetapi justru malah memperberat masalah yang ada. Pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial bukanlah perkara baru dalam perspektif sosiologis masyarakat Indonesia. Persoalan ini sudah berlangsung sejak lama dan masih berlanjut hingga kini.
Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana di maksudkan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004, Bab 1 Tentang Ketentuan Umum Pasal 2 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,seksual,psikologis, dan penelataran dalam rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum dalam ruang lingkup keluarga.
Contoh kasus baru-baru ini yang dialami artis Nindy Ayunda yang mendapatkan kasus KDRT yaitu mulai di tonjok hingga di banting oleh suami nya sendiri.
“ bekas-bekas sudah hilang, tapi dia kasi fotonya ke saya. Difoto itu lebam. Dia cerita saja, merenung,sedih lagi,” Kata Dicky lewat sambungan telefon Selasa (9/2/2021).
Kekerasan dalam rumah tangga jelas mendatangkan akibat dan kerugian yang tidak terkira. Kekerasan terhadap korban dalam bentuk-bentuk yang melampaui batas dapat mengakibatkan masa depannya hilang.
Seorang anak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga akan kehilangan kesempatan dan semangat dalam hidupnya, termasuk kesempatan dan semangat untuk melanjutkan pendidikan, karena fisik yang sempat cacat dan trauma yang terus membayangi pikirannya. Ini berarti, KDRT dalam batas-batas tertentu dapat menimbulkan kerugian besar dari segi fisik maupun non fisik.
Dalam teori sosiologi kita mengenal teori faktor individual, perilaku agresif seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan. Faktor penyebab perilaku kekerasan menurut teori ini adalah faktor pribadi dan faktor sosial.
Faktor pribadi yaitu meliputi kelainan jiwa, seperti psikopat, stress, depresi, serta pengaruh obat bius. Sedangkan faktor yang bersifat sosial antara lain seperti konflik rumah tangga, faktor budaya, dan media massa.
KDRT pertanda keharmonisan dalam rumah tangga tergantikan oleh situasi konflik. Konflik dalam tataran sosiologis diartikan sebagai suatu proses antara dua orang atau lebih, bisa juga kelompok, dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
KDRT sesungguhnya terjadi dalam situasi konflik yang dipicu oleh perbedaan antara anggota-anggota dalam rumah tangga dalam berbagai aspek. Kasus-kasus KDRT yang sempat muncul ke ranah publik menunjukkan KDRT terjadi karena perbedaan pribadi antara pelaku dan korban. umumnya disebankan perbedaan kepandaian, wawasan, adat-istiadat atau budaya, dan agama atau keyakinan.
Perbedaan-perbedaan itu membuat anggota-anggota dalam rumah tangga terutama suami dan istri satu sama lain sulit untuk bisa saling memahami. Sesuatu yang dianggap baik, wajar dan tepat oleh pelaku kekerasan belum tentu demikian dalam pandangan korban, sehingga mereka sulit untuk bisa menyesuaikan diri dan memenuhi keinginan-keinginan masing-masing.
Dalam situasi ini di mana keinginan dan harapan tidak terpenuhi akan muncul prasangka bahwa di rumah tangga tidak lagi ditemui kepedulian dan penghargaan terhadap sesame sehingga akhirnya memicu pihak yang lebih dominan dan berkuasa untuk melakukan tindak kekerasan yang lemah atau yang dikuasai.
KDRT dalam bentuk apapun jelas tergolong tindak kejahatan dan pelanggaran berat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal dari perspektif hak asasi manusia (HAM). KDRT mulai dipandang sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman pidana setelah perkara ini di tetapkan sebagai pelanggaran pidana sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Penetapannya sebagai kejahatan dengan ancaman hukum pidana amat dipengaruhi oleh suatu keadaan dimana kasus-kasus tentang KDRT makin menguat da terbuka hingga memancing reaksi publik. Pasal 1 KUHP menyatakan “tiada satu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dan undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu.
Sebagai sebuah kejahatan, KDRT juga merupakan perilaku antisosial yang merugikan seorang anggota atau sejumlah anggota dalam rumah tangga dari segi fisik, kejiwaan maupun ekonomi. Dengan kata lain cita-cita ideal dalam rumah tangga akan terganggu dan terhambat di wujudkan kesulitan-kesulitan ekonomi melilit rumah tangga.
Akibatnya, pelaku merasa frustasi dengan keadaan yang dialaminya dan terdorong untuk melampiaskan perasaan frustasi tersebut dalam anggota rumah tangga melalui tindakan penyimpangan-penyimpangan yang antisosial dan anti kemanusiaan seperti halnya KDRT.
Masih mau melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga?, bukannya membuat masalah yang ada selesai justru memperberat masalah, mari perbaiki diri dan melakukan hal-hal yang positif. Ayoo bangun rumah tangga yang harmonis.( Vina Oktaviani )