Pandemi COVID-19 bukan hanya berdampak bagi kesehatan, tetapi juga berdampak kepada hampir seluruh sistem kehidupan masyarakat. Beberapa yang paling terdampak adalah sektor Pariwisata dan ketahanan pangan. Krisis pangan kini menghantui Indonesia ditengah pandemi Covid-19 yang masih belum usai. Organisasi pangan dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) sempat menyampaikan akan bahaya ancaman ketahanan pangan di masa pandemi Covid-19 ini.
Dimasa pandemi ini seharusnya dijadikan momentum bagi Indonesia untuk berbenah. Ketersediaan pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun mutu serta mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat merupakan kunci dari keberhasilan ketahanan pangan bangsa ini.
Alumni S2 Bioteknologi Tanah danLingkungan IPB, mengatakan ada enam jenis pangan yang harus menjadi perhatian Indonesia selama pandemi COVID-19, yakni beras, jagung, kedelai, bawang putih, daging sapi, dan ayam.
Hal ini pun terjadi dengan tidak meratanya distribusi pangan karena adanya pembatasan aktivitas di masa pandemi, sehingga ada daerah yang kelebihan pangan, di satu sisi juga banyak daerah yang kekurangan komoditas pangan.
Berdasarkan proyeksi BKP, menghadapi triwulan pertama 2021, harga beras, bawang putih, daging sapi, daging ayam, minyak goreng dan gula pasir masih stabil. Sementara itu, harga telur yang sempat naik akhir Desember 2020 mulai mengalami penurunan.
Kementerian Pertanian selaku lembaga teknis yang bertanggung jawab dalam bidang pertanian (pangan) juga telah menyiapkan berbagai strategi untuk menghadapi tantangan ketahanan pangan di masa pandemi.
” Berbagai program telah dipersiapkan, Diantaranya program peningkatan kapasitas produksi melalui food estate, diversifikasi produksi dan konsumsi pangan, fasilitasi cadangan pangan di berbagai daerah, fasilitasi pemasaran komoditas pertanian melalui TokoTani Indonesia, dan beberapapa kejejaring pengaman sosial,” ungkap Tahlim Sudaryanto Profesor Riset Bidang Ekonomi Pertanian, Kementerian Pertanian.
Selain itu, mengikuti anjuran dari FAO dalam rangka menciptakan kestabilan harga pangan dan perwujudan pangan berkelanjutan, masyarakat juga bisa memprioritaskan membeli bahan pangan pada petani atau produsen kecil secara langsung. Dibandingkan langsung pada distributor yang sering meraup banyak keuntungan yang menyebabkan petani kecil merugi.
“Pada akhirnya, kerjasama di setiap tingkatan sosial untuk menjaga sistem ketahanan pangan adalah kunci untuk melewati Covid-19,” tambahnya.
“ Jika dilihat dari indikator tersebut, untuk menjaga ketahanan pangan, tidak cukup jika hanya menitik beratkan pada masyarakat atau pemerintah.
Perlu ada sinergi dan usaha mulai dari tingkat individu, rumah tangga, masyarakat, sektor privat (perusahaan), dan pemerintahan sebagai pemangku kebijakan,” ungkap Widya dalam keterangan resmi hari ini.
Sejauh ini, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah dalam menghadapi potensi krisis pangan. Salah satunya dengan mencetak sawah baru yang merupakan solusi jangka panjang dengan belajar dari kegagalan proyek lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah pada 1995 dan program food estate di Papua pada 2008.
Ada beberapa upaya yang dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan non produktif menjadi lahan produktif, kemudian bekerjasama dengan daerah lain dan Pemerintah Pusat untuk memastikan rantai distribusi yang lancar dengan penguatan cadangan dan sistem logistik pangan. Selain itu, Pemda juga perlu menjaga stabilitas harga pangan di daerah dengan memastikan diversifikasi pangan di daerah yang selama ini didominasi. Hal tersebut dipaparkan oleh Dr. Ir. Agung Hendriadi M.Eng selaku Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian.
Upaya lain adalah memperkuat dan meningkatkan penggunaan teknologi satelit sebagai penyedia informasi pertumbuhan padi untuk mengetahui data luas tambah tanam (LTT) dan luasan panen secara aktual.
Selain itu, Dr. Bayu Krisna murthi selaku koordinator IPB SDGS Network juga menyampaikan poin penting dalam diskusi. Menurutnya, paradigma tentang ketahanan pangan juga perlu diubah. Bukan saja dilihat dari sisi produksi, tetapi juga konsumsi.
Beras merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Karena itu, menjamin tersedianya beras dalam jumlah dan kualitas yang cukup serta harga yang terjangkau oleh masyarakat merupakan hal pokok yang harus dihadirkan.
Jika dilakukan dengan baik, sistematis, dan berkelanjutan, langkah-langkah dan upaya-upaya di atas diyakini mampu memperkuat ketahanan pangan tanpa melakukan impor. Pendek kata, Indonesia dapat dengan jalan mandiri memberi makan rakyatnya sendiri dengan memacu produksi beras dalam negeri dan siap menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi.
Pada akhirnya, beragam tantangan dan perkembangan yang dilakukan melalui program ketahanan pangan akan berkaitan dengan upaya Pemda dalam memberikan bantuan sosial dari segi pangan, khususnya bagi masyarakat yang membutuhkan. Kedua hal tersebut selain merupakan bentuk respon terhadap dampak pandemi, juga bertujuan melindungi masyarakat akibat kehilangan pekerjaan dan akibat kondisi ekonomi yang melemah.
Realokasi APBD pun dapat dilakukan untuk memitigasi risiko penurunan ketahanan pangan. Selain itu, pemanfaatan lahan pekarangan dan strategi urban farming yang sedang marak dilakukan masyarakat sejak mereka harus stay at home perlu lebih digencarkan kembali karena bisa menjadi salah satu solusi pangan mandiri keluarga. Misalnya, dengan membudidayakan sayuran dengan masa panen singkat seperti bayam merah dan kangkung yang bisa dipanen dalam kurun waktu tiga minggu.
Dengan demikian, kita sebagai masyarakat mampu bertahan dalam kondisi seperti sekarang ini. Tidak mudah menjalankan hidup di masa pandemi apa lagi untuk kebutuhan sehari-hari. Kita tetap menjaga kesehatan, menjaga jarak, dan selalu mematuhi protokol kesehatan.( Oleh: Novlita Kurnianti )