Bunuh Diri Menular, Nabilah & Novalda : Begini Cara Memutuskan Rantai Penularannya?

Kepri, Tanjungpinang664 Dilihat

Putrakepri.com, Tanjungpinang-Fenomena bunuh diri dikalangan saat ini adalah sebuah isu yang menjadi sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian serius. Terdapat beberapa kasus bunuh diri di bulan Oktober 2023 ini menjadi perbincangan di berbagai sosial media. Pada 10 Oktober 2023 lalu, seorang mahasiswi Universitas Negeri Semarang (UNNES) memilih mengakhiri hidupnya di salah satu mall kota Semarang.

Di tanggal yang sama, seorang mahasiswi di Kupang juga memilih mengakhiri hidupnya sesaat sebelum wisuda. Mirisnya, peristiwa bunuh diri ini terjadi bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Indonesia yang jatuh pada 10 Oktober 2023. Melansir data dari World Health Organization (2014), tiap tahunnya tercatat lebih dari 800.000 orang meninggal karena bunuh diri di seluruh dunia sehingga hal ini menjadikan bunuh diri sebagai masalah kesehatan global yang harus diperhatikan (Naghavi, 2019).

Selain penderitaan emosional yang terkait dengan pikiran, perilaku, dan kematian akibat bunuh diri, CDC (2019) mengungkapkan adanya beban ekonomi yang ditimbulkan dari perilaku bunuh diri juga cukup besar, yakni sekitar 44,6 miliar dolar per tahun di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, telah tercatat 971 kasus bunuh diri per-18 Oktober 2023 dan meningkat sebanyak 3.41% dibandingkan tahun sebelumnya (Data Pusat Informasi Kriminal Nasional Kepolisian RI, 2023).
Di beberapa kalangan seperti pada mahasiswa dan remaja, bunuh diri menjadi suatu tren yang berdampak signifikan dengan terjadinya perilaku bunuh diri tersebut. Perilaku bunuh diri merupakan penyebab kematian di dunia yang disebabkan oleh perilaku menyakiti diri sendiri dengan intensi untuk mati sebagai hasil dari perilaku tersebut (World Health Organization, 2021).

Goldsmith dkk (2002) menyatakan bahwa suicidality adalah istilah yang luas yang mencakup “semua perilaku dan pikiran terkait bunuh diri, termasuk melakukan atau mencoba bunuh diri, ideasi bunuh diri, atau komunikasi tentang bunuh diri”, sedangkan ideasi bunuh diri merujuk pada
adanya pemikiran, pertimbangan, atau perencanaan bunuh diri (Klonsky dkk., 2016). Ideasi bunuh diri dapat dipicu oleh berbagai macam faktor, salah satunya ialah paparan terhadap upaya bunuh diri atau kasus bunuh diri yang intens yang kemudian dapat memicu meningkatnya ideasi bunuh diri hingga meniru tindakan bunuh diri tersebut.

Hal ini kemudian disebut dengan copycat suicide atau suicide contagious (bunuh diri menular). Mengenal Copycat Suicide (Suicide Contagious) Fenomena Copycat suicide atau suicide contagious adalah peristiwa unik di mana seseorang mencoba bunuh diri setelah diumumkannya kasus bunuh diri. Dengan kata lain copycat suicide sendiri suatu perilaku bunuh diri imitatif yang terjadi setelah seseorang mengamati atau mengetahui bunuh diri yang dilakukan oleh orang lain, terutama kasus yang
terkenal dan diberitakan secara luas di media.

Copycat suicide dapat meningkatkan angka bunuh diri di suatu daerah tertentu atau bahkan seluruh negara untuk sementara waktu dalam jangka panjang. Temuan dari berbagai penelitian (Phillips, 1974. Niederkrotenthaler dkk, 2010 &
Ladwig, 2012) di negara-negara Barat mengindikasikan efek yang berlangsung hingga 2 minggu, sedangkan penelitian milik Fu & Yip (2007; 2010) menemukan efek peniruan dari perilaku bunuh
diri ini selebritas berlangsung hingga 6 bulan di negara-negara Asia. Kemudian dalam penelitianSoo Ah Jang pada tahun 2016 mengatakan bahwa media ikut andil dalam meningkatnya efek copycat suicide yang menyebabkan tingkat bunuh diri meningkat. Lalu, bagaimana yaa copycat
suicide ini dapat terjadi? Mari kita telaah dalam sudut pandang psikologi!

Terjadinya Copycat Suicide dalam Sudut Pandang Psikologi. Dalam perspektif psikologi, fenomena copycat suicide bisa dikaitkan dengan teoriobservational learning milik Bandura yang merupakan salah satu teori belajar sosial mengenai
bagaimana perilaku manusia bisa dipelajari melalui pengamatan dan peniruan terhadap orang
lain di lingkungan sosial mereka. Menurut Bandura, observational learning merupakan proses kognitif yang melibatkan sejumlah atribut seperti bahasa, moralitas, pemikiran dan pengaturan diri dari perilaku seseorang. Artinya, individu tidak sekedar meng-copy atau meniru, secara otomatis (mekanis) setelah mengobservasi lingkungannya. Melainkan, Individu akan memproses secara kognitif dengan menggunakan pertimbangan pengalaman sebelumnya, moralnya, cara pandangnya atau pemikirannya (Suroso, 2004).

Bandura menyebutkan ada empat proses yang mempengaruhi Observational Learning yaitu:
1. Proses Perhatian (Attentional Process), dimana sebelum suatu perilaku bisa dipelajari dari model, model harus lebih dulu melakukannya karena hanya yang dapat diobservasi sajalah yang dipelajari dan hal ini berarti juga terkait pada kapasitas sensorik seseorang. Seseorang yang rentan terhadap bunuh diri mungkin memberikan atensi yang tinggi
kepada orang yang bunuh diri, terutama jika mereka mengidolakan atau menganggap sebagai sosok yang penting, relevan, atau mirip dengan dirinya. Selain itu, media yang memberitakan bunuh diri secara detail, sensasional, atau berlebihan juga dapat meningkatkan atensi terhadap model.
2. Proses Retensi (Retentional Process), yakni suatu informasi yang diperoleh (diobservasi) informasi bermanfaat yang disimpan baik secara simbolis dengan dua cara (Imajiner dan Verbal). Seseorang yang rentan terhadap bunuh diri mungkin menyimpan informasi tentang cara, alasan, dan dampak dari bunuh diri tersebut dalam memori mereka, terutama jika informasi tersebut disajikan secara visual, verbal, atau simbolik. Informasi tersebut dapat menjadi sumber inspirasi, justifikasi, rasionalisasi bagi perilaku bunuh diri. Seperti seorang remaja yang telah memperhatikan berita tentang bunuh diri kemudian ia mencoba mengingat bagaimana cara bunuh diri yang dilakukan model (seperti menggunakan alat tajam, obat, atau tali), alasan model melakukan bunuh diri (seperti stress, depresi, atau traumanya), atau dampak bunuh diri model (seperti pemberitaan media, penghormatan, atau penghargaan yang diberikan kepada model).
3. Proses Produksi Perilaku (Behavioral Production Process), dimana proses produksi perilaku menentukan tingkat dimana segala sesuatu yang telah dipelajari akan diterjemahkan dalam bentuk perilaku. Proses ini berkaitan dengan seberapa baik
seseorang mengekspresikan perilaku model yang telah diamati. Ekspresi ini membutuhkan kemampuan motorik, kognitif, dan afektif untuk melaksanakan perilaku bunuh diri seperti keberanian, keteguhan, atau keputusasaan. Sehingga seseorang akan lebih mudah meniru perilaku model jika ia memiliki sarana, keterampilan, atau keinginan
untuk melakukannya.
4. Proses Motivasi (Motivational Process), proses ini berkaitan dengan seberapa besar
dorongan yang dimiliki seseorang untuk meniru perilaku model. Dorongan ini dipengaruhi oleh penguatan (Reinforcement) yang memiliki dua fungsi yakni:
(a) Menciptakan penghargaan, apabila bertindak seperti model yang mendapatkan reinforcement, maka ia akan mendapatkan reinforcement juga, dan
(b) Proses Motivasi, memberikan satu motif untuk menggunakan apa yang telah dipelajari. Seperti Seorang remaja yang telah mampu mengekspresikan perilaku bunuh diri model mungkin memiliki motivasi untuk melakukannya, yang berasal dari berbagai faktor, seperti stres, depresi, kesepian, rasa tidak berdaya, atau harapan untuk mendapatkan simpati, perhatian, atau pengakuan dariorang lain. Motivasi ini dapat diperkuat oleh penguatan tidak langsung, yaitu konsekuensi yang dialami oleh model atau orang lain yang meniru perilaku, seperti pemberitaan media yang berlebihan, penghormatan, atau penghargaan yang diberikan kepada model, yang dapat meningkatkan daya tarik atau nilai sosial dari perilaku tersebut.
Copycat suicide dapat muncul dikarenakan maraknya pemberitaan tentang bunuh diri yang begitu detail, seperti cara mereka bunuh diri, alasan bunuh diri dan sebagainya. Isi berita yang begitu sensasional dan dramatis semakin membuat pembaca yang merasakan hal yang sama seperti ikut ke dalam cerita yang menyebabkan keinginan bunuh diri timbul.

Tak hanya itu, pada tahapan menerima informasi ini, kecerdasan emosional (emotional intelligence) individu berperan dalam menentukan pengambilan keputusan apakah meniru perilaku tersebut akan bermanfaat bagi diri sendiri atau sebaliknya. Kecerdasan emosional adalah keterampilan penting dalam kehidupan yang meliputi ketekunan, kegigihan, dan bertanggungjawab atas diri sendiri. Ini memungkinkan individu untuk
berempati dengan emosi orang lain dan mengendalikan dorongan diri. Kecerdasan emosional terdiri dari lima subkomponen: pengetahuan diri, pengendalian emosi atau diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.

Lalu bagaimana hubungannya dengan perilaku bunuh diri pada individu? Temuan Korkmaz dkk (2020) mengenai hubungan kecerdasan emosional dan perilaku bunuh diri melihat bahwa ketidakmampuan untuk mengenali, menyadari, atau memahami emosi diri sendiri dan orang lain dapat membuat individu mempertimbangkan bunuh diri sebagai solusi atas kesulitannya. Individu yang mencoba bunuh diri memiliki skor pengendalian emosi yang lebih
rendah dibandingkan individu yang sehat. Hal ini menunjukkan adanya kesulitan dalam mengelola emosi dan mengadopsi mekanisme penanganan emosi yang sehat. Dengan demikian, individu dengan kecerdasan emosional rendah yang kemudian terpapar dengan berita kasus bunuh diri secara intens akan lebih mungkin memunculkan ideasi bunuh diri maupun meningkatkan ideasi terhadap peniruan perilaku bunuh diri sebagai jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
Lalu dengan mengetahui cara penularan bunuh diri ini, hal apa saja ya yang harus dilakukan untuk mencegahnya?

Upaya Pencegahan dan Catatan Penting Bagi Orang tua

Sebagai pengguna internet dan audiens media massa, terutama kelompok rentan seperti mahasiswa dan remaja, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memutus rantai copycat
suicide ini.

Pertama, mengidentifikasi risiko yang ada baik dari dalam dan luar diri masing-masing. Seperti misalnya, mengenali apakah diri kita sedang mengalami tekanan sosial yang tinggi, baik dari lingkungan sekolah, teman sebaya, maupun tuntutan akademik sehingga muncul stress hingga keinginan untuk bunuh diri. Manfaat mengetahui hal ini adalah kita dapat mencari akses
dukungan dan bantuan yang tepat ketika gejala copycat suicide terjadi dalam diri kita, seperti bercerita pada orang terdekat yang dapat dipercaya maupun meminta bantuan profesional seperti konselor atau psikolog. Kedua, pencegahan terjadinya efek copycat suicide dapat dilakukan dengan mengembangkan emotional intelligence dalam menanggapi berita bunuh diri seperti mengenali emosi yang dirasakan, mengambil tindakan untuk menghindari berita bunuh diri jika timbul rasa tidak nyaman atau frustasi, serta memperbanyak membaca hal-hal positif yang
mampu mengembangkan rasa percaya diri dan afek positif. Kedua cara ini dapat membuat kitasemakin mengenali diri dan mencegah meningkatnya pemikiran bunuh diri yang dapat dipicu oleh
efek copycat suicide.

Tak hanya itu, orangtua juga memiliki peran penting dalam mendukung kesehatan mental dan keselamatan kelompok rentan ini. Orangtua yang memahami gejala timbulnya copycat suicide dapat lebih mudah mengidentifikasi perubahan perilaku atau tanda-tanda kesehatan mental yang mungkin menunjukkan risiko bunuh diri pada anak. Sehingga, orangtua dapat
menjadi perhatian pada anak yang kemudian menunjukan gejala seperti penarikan diri, perubahan suasana hati yang drastis, hilangnya minat pada kegiatan yang sebelumnya disukai, atau perubahan pola tidur dan makan. Orangtua kemudian dapat memberikan dukungan seperti
mendengarkan secara aktif, memberikan dukungan emosional, dan mengajak anak untukberbicara tentang perasaannya. Hal ini dapat membantu anak merasa didengar, dipahami, dan didukung, serta mendorong mereka untuk mencari bantuan jika diperlukan.

Sebagai penutup, penting untuk dicatat bahwa memahami gejala timbulnya copycat suicide hanya merupakan langkah awal dalam pencegahan bunuh diri. Diperlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan kerjasama antara profesional kesehatan mental, pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secarakeseluruhan untuk mengatasi masalah ini dengan lebih efektif.

Referensi:
● Muhamad, N. (2023). Ada 971 Kasus Bunuh Diri sampai Oktober 2023, Terbanyak di
Jawa Tengah. Diakses melalui Databoks di
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/10/18/ada-971-kasus-bunuh-dirisampai-oktober-2023-terbanyak-di-jawa-tengah pada November 2023.
● Jang, S.H.,Sung J.M, Park, J.Y, Jeon, W.T. (2016). Copycat Suicide Induced by
Entertainment Celebrity Suicides in South Korea. Psychiatry Investigation. Vol. 13(1):74-
81.
● Korkmaz, S., Danacı Keleş, D., Kazgan, A., Baykara, S., Gürkan Gürok, M., Feyzi
Demir, C., & Atmaca, M. (2020). Emotional intelligence and problem solving skills in
individuals who attempted suicide. Journal of Clinical Neuroscience, 74, 120–123.
https://doi.org/10.1016/j.jocn.2020.02.023
● Phillips DP (1974) The influence of suggestion on suicide: substantive and theoretical
implications of the Werther effect. Am Sociol Rev 39:340–354
● Niederkrotenthaler T, Till B, Herberth A, Kapusta ND, Voracek M, Dervic K, Etzersdorfer
E, Sonneck G.(2009). Can media effects counteract legislation reforms? The case of
adolescent firearm suicides in the wake of the Austrian firearm legislation. Journal of
Adolescent Health, 44:90–93.
● Fu, K. W., & Yip, P. S. F. (2009, June 15). Estimating the Risk for Suicide Following the
Suicide Deaths of 3 Asian Entertainment Celebrities. The Journal of Clinical Psychiatry,
70(6), 869–878. https://doi.org/10.4088/jcp.08m04240
● Fu, K. W., & Yip, P. S. F. (2007, June 1). Long-term impact of celebrity suicide on
suicidal ideation: results from a population-based study. Journal of Epidemiology &
Community Health, 61(6), 540–546. https://doi.org/10.1136/jech.2005.045005
● Ladwig, K. H., Kunrath, S., Lukaschek, K., & Baumert, J. (2012, January). The railway
suicide death of a famous German football player: Impact on the subsequent frequency
of railway suicide acts in Germany. Journal of Affective Disorders, 136(1–2), 194–198.
https://doi.org/10.1016/j.jad.2011.09.044
● Naghavi, M., 2019. Global, regional, and national burden of suicide mortality 1990 to
2016: systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. BMJ 364,l94.
https://doi.org/10.1136/bmj.l94.
● World Health Organization [WHO], 2014. Preventing Suicide: A Global Imperative.
Geneva.
● World Health Organization. (2021). Suicide worldwide in 2019: Global health estimates.
● Goldsmith, S. K., Pellmar, T. C., Kleinman, A. M., & Bunney, W. E. (2002). Reducing
suicide: A national imperative. Washington, DC: The National Academies Press.
https://doi.org/10.17226/10398.
https://nap.nationalacademies.org/catalog/10398/reducing-suicide-a-national-imperative
● Klonsky, E. D., May, A. M., & Saffer, B. Y. (2016). Suicide, suicide attempts, and suicidal
ideation. Annual Review of Clinical Psychology, 12, 307–330.
https://doi.org/10.1

Jumat, 10 November 2023
Penulis: Nabilah Munifah dan Novalda Yogaswari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *